Pagi ini jarang
sekali terjadi, aku terpekur dalam lamunan dan hayalanku yang tingkat tinggi.
Aku memikirkan sesosok anak laki-laki, berumur 16 tahun, berbadan kurus-tinggi,
anak terbodoh di kelas, hobinya hanya ingin bermain, wataknya keras kepala,
selalu merasa paling tahu dan paling benar. Sosok itu saat ini ada dihadapanku,
menatap balik mataku dan mengikuti seluruh gerakanku. Ya, dialah aku, aku yang
saat ini sedang berada didepan cermin, melihat secara utuh replika anak laki-laki yang selalu terikat dengan
masalah.
Empat tahun sudah aku menyandang status sebagai santri, sebutan bagi orang yang hidup di asrama dan berkutat dengan berbagai aturan. Tidur dengan 30 orang dalam satu kamar, dan berbagi 48 kamar mandi dengan 900 orang, itulah tempat tinggalku. Setiap hari berpakaian rapih, membaca kitab suci, sopan santun tiada henti adalah tuntutan tiap santri, tapi bagiku itu semua hanyalah mimpi.
Mungkin orang-orang memandang tempat
tinggalku ibarat akuarium, sedangkan aku serta kawan-kawan bodohku sebagai
ikan-ikan mungil yang memberi keindahan tersendiri bagi mereka, sampai-sampai
mereka pun menjuluki akuarium itu sebagai penjara suci. Lucu sekali rasanya,
orang-orang sudah ditipu oleh mata mereka sendiri, hanya melihat yang
indah-indah saja. Padahal air dalam akuarium tentu akan kotor oleh
kotoran-kotoran ikan, dan itu akan menumpuk jika tidak dibersihkan oleh sang
pemilik. Ah sudahlah, wajahku tetap saja jelek, bodoh pula, bercermin lama-lama
pun tak ada guna, ya mungkin sudah takdir aku begini adanya.
Bosan aku lama-lama hidup dengan banyak aturan, pikirku. Pindah dari “penjara suci” tentu sebuah kemustahilan, itu adalah salah satu dari sejuta paksaan orang tuaku yang tak habisnya menghujam batinku. Ya sudah, daripada aku beruban dengan berbagai aturan, lebih baik aku sering-sering berkunjung ke tempat persembunyian. Dengan jarak sekitar 500 meter, tempat itu berdiri di ujung salah satu gang kecil rumah warga desa. Pemiliknya seorang pemuda yang juga mantan penghuni asramaku. Sering sekali aku singgah disana untuk mengepul rokok sepusanya, menonton televisi dengan bebas, dan sesekali melihat video orang dewasa bersenggama.
Lama sudah aku bercermin, bergegaslah
aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Disini mengantri sudah seperti
budaya inti. Maklumlah, hidup bersama berarti harus bisa berbagi. Tapi kali ini
tidak bagiku. Sudah setengah jam aku duduk menunggu giliran, saat habis masa
antrianku, tiba-tiba laki-laki sebaya denganku menyerobot masuk kamar mandi. Ku
tariklah tangannya dan mengaku itu jatahku.
“mau apa kau, masih anak kecil saja sudah belagu, aku ini seniormu” katanya,“lalu?” Tanya ku,“kurang ajar!!” melayanglah kepalan tangannya ke bibirku.“anjing!!” ku balas dengan genggaman kuat tanganku ke hidungnya.Untung saja temanku meleraiku, jika tidak mungkin aliran darah diwajahku makin banyak, dan tercatatlah daftar kekurang-ajaranku.
Kembali aku ke depan cermin, kali
ini meratapi nasib bibirku yang melebar karna sobekan kecil di ujungnya.
Sakitnya tak seberapa dibandingkan dengan sakit di pikiranku. Apanya yang sopan
santun?, apanya yang berbagi?, apanya yang penjara suci? menghormati keberadaan
seseorang saja tidak mengerti. Bukankah seorang senior harusnya mengajarkan
sopan santun yang katanya harus dijunjung tinggi di tempat ini? Sudahlah, dia
pun sama bodohnya dengan ku, bahkan lebih bodoh dari ku.
Suntuk aku dengan semuanya, mungkin dengan berontak suntukku dapat sedikit terobati. Teringat aku dengan batang sepanjang 9 cm. ya, rokok. Malas aku berjalan 500 meter hanya untuk mengepul sebatang rokok. Aku beranikan diri saja dengan jarak 50 meter, tepat di kamar mandi. Dengan mengajak 2 orang kawan, bergeraklah aku ke kamar mandi, sepuasnya aku merokok. Aku lupakan sejenak segala pengorbanan orangtuaku dalam menghidupiku, ku lupakan sejenak sosok kakakku yang saat ini tengah mengontrolku, tapi tak ku lupakan rasa manis di lidahku dari batang 9 cm bersama 2 kawan bodohku.
Akhirnya malam datang, sesaat lagi
aku pun istirahat, tapi tunggu, ku lihat ada ramai-ramai dari kamar sebelah.
Betul saja, terjadi pertengkaran antara satu laki-laki lebih muda dari ku,
dengan 3 anak laki-laki seumurku. Aku dengar pertengkaran terjadi karna satu
anak yang sedang dipukuli itu dipergoki mencuri uang milik salah satu diantara
3 temanku. Ah, entahlah, malas aku ikut campur, wajahku saja masih babak belur.
Aku kembali pada kasur, menonton sebuah kejadian lain, kali ini seorang
pengurus marah kepada teman-temanku yang tengah bermain karambol. Karambol pun
bubar, tapi nafsu bermain teman-teman masih berkeliaran. Tak ada rotan, akar
pun jadi, tak ada karambol, remi pun jadi. Sepakatlah bermain remi, aku pun
bergabung dengan mereka.
“Apa-apaan kalian? Benar-benar kurang ajar!” seorang pengurus mengamuk.“kurang ajar? Jelas kang, karna anda hanya bisa menghukum kami, bukan mengajar, jadilah kami kurang ajar” balas ku“bubar kalian semua!, tidur!”“dengan senang hati kang” senyum sinis ku lempar ke wajahnya.
***
Nikmatnya siang ini, berselonjor
kaki sambil melihat riuhnya televisi yang meributkan sosok pencuri, tentu
pencuri kelas hiu, bukan seperti adik kelasku semalam. Hidup tanpa aturan itu
memang menyenangkan, untuk saat ini. Suasana sepi serta angin sejuk yang
mengurangi panasnya matahari mengajakku untuk melepas semua sisa-sisa kepenatan
yang saat ini sedang aku tinggalkan di asrama. Kemudian aku pun pergi
berpetualang ke dalam bayang-bayang masa di mana aku sedang tinggal di rumah
bersama keluarga.
Aku pun terhanyut dalam lamunanku, teringat sesosok tokoh yang sering diceritakan oleh kakakku. Ada sesosok laki-laki yang berjiwa bebas, beridealisme tinggi, tapi tanggung jawab, ia hidup dalam tekanan, sedangkan ia juga memiliki cita-cita yang besar, hanya saja caranya yang berbeda. Konon suatu ketika, lelaki itu bertengkar dengan tokoh masyarakat tempat tinggalnya. Lelaki itu diteriaki bodoh oleh sang tokoh masyarakat. Sontak si lelaki tidak terima, dan kepalan tangan pun melayang. Orang tua lelaki itu merasa malu karna anaknya berani melawan pemimpin warga setempat. Diusir lah ia dari rumahnya. Lelaki itu berjanji pada orang tuanya, bahwa ia akan kembali dengan membawa sejuta mimpinya yang menjadi nyata, dan membuktikan bahwa orang tuanya tak perlu malu memiliki anak seperti dirinya.
Kakak pernah bercerita bahwa seorang
yang berprinsip memang kadang harus mengasingkan diri, atau malah diusir oleh
lingkungannya. Sekilas aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku bertingkah
seperti ini karna tanpa sadar aku mengidolakan lelaki itu? Apakah lelaki itu
benar-benar nyata, atau hanya karangan kakakku saja?. Selang 30 menit, 2 kawan
menghampiriku dan membuyarkan lamunanku.
“ada yang mencari kau, perempuan bermotor merah, ia menunggu di depan gang”
“ah, jangan berguraulah” tersendak dadaku“temui saja di depan jika tak percaya” katanya.Wajahnya tenang, tapi tatapannya begitu tajam, sedangkan wajahku tegang, dan mataku sayu seperti menahan beban.“sudah puas kau bermain disini ?”“bermain apa kak?”“tak bosan kau berulah diasrama, sampai kau punya tempat persembunyian macam ini, sedangkan aku lelah menanggung malu berkali-kali mendapat telfon akibat ulah mu.”Aku tak bergeming.“kau di skors! Puas kau!” menetes air matanya.Lagi-lagi aku tak bergeming.“naiklah ke motor, kemas semua barang-barangmu”“aku dibawa kemana kak? Aku akan tinggal di mana kak? Apa ayah dan ibu tau kak?”
Aku memelas kasih kepada kakakku,
tapi ia hanya meresponku dengan air mata. Dibawanya aku kesebuah rumah, rumah
yang setelah ku hitung kamarnya hanya berjumlah 15 buah. Aku melihat seorang
pria dewasa keluar dari kamarnya, berwajah bersih, memakai sarung dan peci.
Satu hal yang membuatku takjub, tangan kanannya, tangan yang sudah tak terlihat
lagi seperti apa warna kulitnya, yang telihat hanyalah tato. Ia
berbincang-bincang dengan kakakku, dan sesekali mereka melihat ke arahku yang
berjarak 10 meter dari mereka, yang ku tahu mungkin kakakku meminta ijin agar
aku dapat tinggal bersamanya. Tapi mengapa harus dia? Pria bertato dengan
sarung dan pecinya?
“mungkin sudah saatnya kau belajar dari dia agar kau tak lagi diteriaki kurang ajar oleh orang-orang. Belajar untuk membedakan mana prinsip dan mana nafsu. Orang yang ditekan tak selamanya harus berontak. Jangan kau kira hanya kau yang ditekan ayah dan ibu. Aku juga sama, hanya saja aku bisa mengontrol diriku.”“begitu juga dengan dia, pria bertato itu adalah kakakmu, kakakku juga. Ia diusir ayah dan ibu dari rumah ketika kau masih sangat kecil. Dia lah lelaki yang pernah ku ceritakan pada mu tempo dulu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar