Kamis, 19 Juli 2012

Aquariumku Keruh Airnya


Pagi ini jarang sekali terjadi, aku terpekur dalam lamunan dan hayalanku yang tingkat tinggi. Aku memikirkan sesosok anak laki-laki, berumur 16 tahun, berbadan kurus-tinggi, anak terbodoh di kelas, hobinya hanya ingin bermain, wataknya keras kepala, selalu merasa paling tahu dan paling benar. Sosok itu saat ini ada dihadapanku, menatap balik mataku dan mengikuti seluruh gerakanku. Ya, dialah aku, aku yang saat ini sedang berada didepan cermin, melihat secara utuh replika  anak laki-laki yang selalu terikat dengan masalah.
            Empat tahun sudah aku menyandang status sebagai santri, sebutan bagi orang yang hidup di asrama dan berkutat dengan berbagai aturan. Tidur dengan 30 orang dalam satu kamar, dan berbagi 48 kamar mandi dengan 900 orang, itulah tempat tinggalku. Setiap hari berpakaian rapih, membaca kitab suci, sopan santun tiada henti adalah tuntutan tiap santri, tapi bagiku itu semua hanyalah mimpi.
            Mungkin orang-orang memandang tempat tinggalku ibarat akuarium, sedangkan aku serta kawan-kawan bodohku sebagai ikan-ikan mungil yang memberi keindahan tersendiri bagi mereka, sampai-sampai mereka pun menjuluki akuarium itu sebagai penjara suci. Lucu sekali rasanya, orang-orang sudah ditipu oleh mata mereka sendiri, hanya melihat yang indah-indah saja. Padahal air dalam akuarium tentu akan kotor oleh kotoran-kotoran ikan, dan itu akan menumpuk jika tidak dibersihkan oleh sang pemilik. Ah sudahlah, wajahku tetap saja jelek, bodoh pula, bercermin lama-lama pun tak ada guna, ya mungkin sudah takdir aku begini adanya.
            Bosan aku lama-lama hidup dengan banyak aturan, pikirku. Pindah dari “penjara suci” tentu sebuah kemustahilan, itu adalah salah satu dari sejuta paksaan orang tuaku yang tak habisnya menghujam batinku. Ya sudah, daripada aku beruban dengan berbagai aturan, lebih baik aku sering-sering berkunjung ke tempat persembunyian. Dengan jarak sekitar 500 meter, tempat itu berdiri di ujung salah satu gang kecil rumah warga desa. Pemiliknya seorang pemuda yang juga mantan penghuni asramaku. Sering sekali aku singgah disana untuk mengepul rokok sepusanya, menonton televisi dengan bebas, dan sesekali melihat video orang dewasa bersenggama.
            Lama sudah aku bercermin, bergegaslah aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Disini mengantri sudah seperti budaya inti. Maklumlah, hidup bersama berarti harus bisa berbagi. Tapi kali ini tidak bagiku. Sudah setengah jam aku duduk menunggu giliran, saat habis masa antrianku, tiba-tiba laki-laki sebaya denganku menyerobot masuk kamar mandi. Ku tariklah tangannya dan mengaku itu jatahku.
mau apa kau, masih anak kecil saja sudah belagu, aku ini seniormu” katanya,
lalu?” Tanya ku,
kurang ajar!!” melayanglah kepalan tangannya ke bibirku.
anjing!!” ku balas dengan genggaman kuat tanganku ke hidungnya.
Untung saja temanku meleraiku, jika tidak mungkin aliran darah diwajahku makin banyak, dan tercatatlah daftar kekurang-ajaranku.
            Kembali aku ke depan cermin, kali ini meratapi nasib bibirku yang melebar karna sobekan kecil di ujungnya. Sakitnya tak seberapa dibandingkan dengan sakit di pikiranku. Apanya yang sopan santun?, apanya yang berbagi?, apanya yang penjara suci? menghormati keberadaan seseorang saja tidak mengerti. Bukankah seorang senior harusnya mengajarkan sopan santun yang katanya harus dijunjung tinggi di tempat ini? Sudahlah, dia pun sama bodohnya dengan ku, bahkan lebih bodoh dari ku.
            Suntuk aku dengan semuanya, mungkin dengan berontak suntukku dapat sedikit terobati. Teringat aku dengan batang sepanjang 9 cm. ya, rokok. Malas aku berjalan 500 meter hanya untuk mengepul sebatang rokok. Aku beranikan diri saja dengan jarak 50 meter, tepat di kamar mandi. Dengan mengajak 2 orang kawan, bergeraklah aku ke kamar mandi, sepuasnya aku merokok. Aku lupakan sejenak segala pengorbanan orangtuaku dalam menghidupiku, ku lupakan sejenak sosok kakakku yang saat ini tengah mengontrolku, tapi tak ku lupakan rasa manis di lidahku dari batang 9 cm bersama 2 kawan bodohku.
            Akhirnya malam datang, sesaat lagi aku pun istirahat, tapi tunggu, ku lihat ada ramai-ramai dari kamar sebelah. Betul saja, terjadi pertengkaran antara satu laki-laki lebih muda dari ku, dengan 3 anak laki-laki seumurku. Aku dengar pertengkaran terjadi karna satu anak yang sedang dipukuli itu dipergoki mencuri uang milik salah satu diantara 3 temanku. Ah, entahlah, malas aku ikut campur, wajahku saja masih babak belur. Aku kembali pada kasur, menonton sebuah kejadian lain, kali ini seorang pengurus marah kepada teman-temanku yang tengah bermain karambol. Karambol pun bubar, tapi nafsu bermain teman-teman masih berkeliaran. Tak ada rotan, akar pun jadi, tak ada karambol, remi pun jadi. Sepakatlah bermain remi, aku pun bergabung dengan mereka.
Apa-apaan kalian? Benar-benar kurang ajar!” seorang pengurus mengamuk.
kurang ajar? Jelas kang, karna anda hanya bisa menghukum kami, bukan mengajar, jadilah kami kurang ajar” balas ku
bubar kalian semua!, tidur! 
dengan senang hati kang” senyum sinis ku lempar ke wajahnya.
***
            Nikmatnya siang ini, berselonjor kaki sambil melihat riuhnya televisi yang meributkan sosok pencuri, tentu pencuri kelas hiu, bukan seperti adik kelasku semalam. Hidup tanpa aturan itu memang menyenangkan, untuk saat ini. Suasana sepi serta angin sejuk yang mengurangi panasnya matahari mengajakku untuk melepas semua sisa-sisa kepenatan yang saat ini sedang aku tinggalkan di asrama. Kemudian aku pun pergi berpetualang ke dalam bayang-bayang masa di mana aku sedang tinggal di rumah bersama keluarga.
            Aku pun terhanyut dalam lamunanku, teringat sesosok tokoh yang sering diceritakan oleh kakakku. Ada sesosok laki-laki yang berjiwa bebas, beridealisme tinggi, tapi tanggung jawab, ia hidup dalam tekanan, sedangkan ia juga memiliki cita-cita yang besar, hanya saja caranya yang berbeda. Konon suatu ketika, lelaki itu bertengkar dengan tokoh masyarakat tempat tinggalnya. Lelaki itu diteriaki bodoh oleh sang tokoh masyarakat. Sontak si lelaki tidak terima, dan kepalan tangan pun melayang. Orang tua lelaki itu merasa malu karna anaknya berani melawan pemimpin warga setempat. Diusir lah ia dari rumahnya. Lelaki itu berjanji pada orang tuanya, bahwa ia akan kembali dengan membawa sejuta mimpinya yang menjadi nyata, dan membuktikan bahwa orang tuanya tak perlu malu memiliki anak seperti dirinya.
            Kakak pernah bercerita bahwa seorang yang berprinsip memang kadang harus mengasingkan diri, atau malah diusir oleh lingkungannya. Sekilas aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku bertingkah seperti ini karna tanpa sadar aku mengidolakan lelaki itu? Apakah lelaki itu benar-benar nyata, atau hanya karangan kakakku saja?. Selang 30 menit, 2 kawan menghampiriku dan membuyarkan lamunanku.
ada yang mencari kau, perempuan bermotor merah, ia menunggu di depan gang
ah, jangan berguraulah” tersendak dadaku
temui saja di depan jika tak percaya” katanya.
Wajahnya tenang, tapi tatapannya begitu tajam, sedangkan wajahku tegang, dan mataku sayu seperti menahan beban.
sudah puas kau bermain disini ?
bermain apa kak?
tak bosan kau berulah diasrama, sampai kau punya tempat persembunyian macam ini, sedangkan aku lelah menanggung malu berkali-kali mendapat telfon akibat ulah mu.
Aku tak bergeming.
kau di skors! Puas kau!” menetes air matanya.
Lagi-lagi aku tak bergeming.
naiklah ke motor, kemas semua barang-barangmu
aku dibawa kemana kak? Aku akan tinggal di mana kak? Apa ayah dan ibu tau kak?
            Aku memelas kasih kepada kakakku, tapi ia hanya meresponku dengan air mata. Dibawanya aku kesebuah rumah, rumah yang setelah ku hitung kamarnya hanya berjumlah 15 buah. Aku melihat seorang pria dewasa keluar dari kamarnya, berwajah bersih, memakai sarung dan peci. Satu hal yang membuatku takjub, tangan kanannya, tangan yang sudah tak terlihat lagi seperti apa warna kulitnya, yang telihat hanyalah tato. Ia berbincang-bincang dengan kakakku, dan sesekali mereka melihat ke arahku yang berjarak 10 meter dari mereka, yang ku tahu mungkin kakakku meminta ijin agar aku dapat tinggal bersamanya. Tapi mengapa harus dia? Pria bertato dengan sarung dan pecinya?
mungkin sudah saatnya kau belajar dari dia agar kau tak lagi diteriaki kurang ajar oleh orang-orang. Belajar untuk membedakan mana prinsip dan mana nafsu. Orang yang ditekan tak selamanya harus berontak. Jangan kau kira hanya kau yang ditekan ayah dan ibu. Aku juga sama, hanya saja aku bisa mengontrol diriku.
begitu juga dengan dia, pria bertato itu adalah kakakmu, kakakku juga. Ia diusir ayah dan ibu dari rumah ketika kau masih sangat kecil. Dia lah lelaki yang pernah ku ceritakan pada mu tempo dulu

Minggu, 15 April 2012

AKU NRIMO ING PANDUM



Ia cacat,
Ia tidak bisa membaca,
Ia tidak bisa menulis,
Ia tidak pernah sekolah,
tapi Ia menjadi pemimpin

 Saryono, satu diantara penduduk asli Dusun Ngetehan, Sleman. Lelaki ini bisa dikenali dari jarak jauh. Ketika  Ia mengandarai se-peda motor. De-ngan kedua mata-nya yang tidak dapat melihat de-ngan sempurna, secara perlahan Ia berani serta hati-hati mengendarai sepeda motornya, dan itulah yang menjadi ciri khas-nya.

    Saryono seorang bapak dari dua orang anak. Di umurnya yang melampaui 40 tahun ini, Ia tidak pernah mengenal satu huruf sekalipun. Ia tidak buta, hanya cacat mata yang disebabkan sakit demam amat parah diumurnya yang begitu balita.
   
    Bertani dan mencari rumput untuk tiga ekor sapi adalah pekerjaannya sehari-hari. Dari sana lah Ia dapat menghidupi keluarga kecilnya.
   Saryono kecil sudah berbeda dengan anak seusianya. Berawal dari penyakit cacar dan campak saat Ia berumur 4 tahun. Ketika itu orang tuanya tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menurunkan demam yang begitu tinggi. Seorang mantri (dokter kala itu) mengatakan bahwa Ia sulit untuk disembuhkan, terlebih ketika cacar tersebut menyerang dan tumbuh di matanya yang hampir saja menyebabkan buta untuk selama-lamanya. “kita hanya bisa berdoa mba supaya adik saya itu bisa sembuh” tutur mbah Sarwo, kakak Saryono.

  Saat Saryono anak-anak, rasa penasarannya terhadap huruf dan angka Ia obati dengan belajar melalui media yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Dengan jemarinya yang Ia gunakan sebagai pena, Ia belajar menulis di atas tanah, dibantu kawannya merangkai beberapa huruf. “Saya belajar beberapa huruf dan angka dengan jari saya lewat tanah, teman-teman saya yang mengajarkan, kadang mereka juga bercerita pe-lajaran di sekolah” ungkap Saryono sambil meraba-raba meja, mencari rokok.
  Rasa minder tetap Ia rasakan, terutama saat Ia memasuki masa remaja. Cacat mata yang Ia derita sempat membuatnya menyerah men-jalani hidup. Tapi, di saat itu justru keluarga dan teman-temannya lah yang terus me-nyemangatinya. Saryono remaja semakin menyadari bah-wa kekurangan bukan menjadi penghambat ba-ginya untuk bel-ajar menjadi orang yang ber-guna dan ber-manfaat bagi orang lain. Baginya, cacat mata yang Ia alami bukan masalah besar. Ia terus belajar apapun yang bisa Ia pelajari. Jika Ia tidak bisa me-manfaatkan kedua matanya, maka Ia dapat memaksimalkan kedua telinganya dengan baik.

  Prinsip hidup yang Ia miliki adalah hidup sederhana, menikmati hidup dengan apa adanya dan tidak perlu menginginkan sesuatu yang memang tidak terlalu penting untuk dimiliki.  Kesederhanaan hidup serta kejujuran, itulah yang menjadikan Saryono menjadi sosok yang dipercaya oleh teman-teman dan orang sekitar. “iya mbak, nrimo ing pandum, dan saya bersyukur bisa dipercaya orang”

   Sudah 4 tahun ini Saryono menjabat sebagai ketua RT. Ia tidak pernah sedikit pun terbersit untuk mengemban amanah sebagai pemimpin masyarakat, apalagi mengaju-kan dirinya sendiri. Jiwanya- lah yang menghantarkannya menjadi seorang ketua bagi penduduk RT 04 yang berjumlah 45 kepala keluarga. “Terbebani?, yaa gimana ya, kalau membawa amanah itu memang berat, apalagi saya seperti ini, tapi saya ini banyak yang membantu” dengan tenang ia menjelaskan.

    Suka duka menjadi seorang pemimpin dari 45 keluarga dengan keterbatasan fisik menjadi suatu nikmat ter-sendiri bagi Saryono. Suka Ia rasakan ketika berbagai usulannya untuk kepentingan bersama diterima oleh warga. Duka pun Ia nikmati ketika Ia dicemooh oleh warganya sendiri.

  Saryono tidak hanya menjadi pemimpin bagi warga RT 04. Di mata istrinya, Juminah. Saryono adalah sosok Imam (pemimpin) yang baik dan bertanggung jawab. “biasanya kalau pagi kan istri itu udah di dapur mba, dan suami masih pulas tidur, tapi bapak ini ga, kalo saya udah di dapur, bapak juga ke dapur, bantuin masak air” ungkap Juminah.

      Meski Ia tidak mengenal huruf dan tidak dapat membaca, sampai detik ini Ia belum pernah tergantikan untuk menjadi pemimpin dalam acara pengajian, sebagai imam mushola maupun sebagai pemimpin rois (upacara kematian). Semua doa dan ayat-ayat yang Ia bacakan saat menjadi imam mushola maupun memimpin rois, tidak Ia dapatkan dengan cara membaca, tetapi hanya dengan mendengarkan. “Setiap orang itu punya kekurangan dan kelebihan dek, nah Pak RT itu walaupun susah melihat dan buta huruf tapi daya ingatnya kuat sekali, dia mimpin kenduren[1] sama yasiin-an[2]” jelas Irine, salah satu anggota karang taruna RT 04.

   Saryono memiliki gaya tersendiri dalam memimpin. Selama memimpin Ia tidak pernah memutuskan suatu perkara atau membuat ke-bijakan yang berkaitan dengan warganya atas  kehendak sendiri, segalanya Ia musya-warahkan dengan warganya. Sifat kekeluargaan yang tertanam pada warga, mem-bawa Saryono berkali-kali berhasil menjadikan RT 04 sebagai pemenang perlombaan antar RT dalam acara HUT RI atau biasa disebut acara 17 Agustusan.
   Jujur, rasa menerima dan terbuka serta hidup sederhana adalah kunci yang selalu Saryono genggam di tangannya,  hingga keempat hal tersebut menjadikannya sosok yang dipercaya oleh banyak orang, padahal Ia seorang yang cacat dan memiliki banyak ke-terbatasan.  “hidup dijalani dengan santai saja, semua cemoohan dan kritik dari orang lain kita terima dengan baik. Semuanya itu bisa menjadikan pendewasaan kualitas diri. kekurangan itu kalau tidak dari orang lain, tidak akan terlihat” tutur Saryono.
  



[1] Acara semacam syukuran dengan mengumpulkan masyarakat dan makan bersama.
[2] Membaca surat yasin (salah satu surat dalam Al-Quran).

Minggu, 04 Maret 2012

KA. Progo St. Lempuyangan - St. Bekasi : Nenek Sederhana

Aku mulai merajut jejak kisah dari si roda besi dengan menyebut nama-Nya. Dia yang Maha Kasih Tak Pilih Kasih. Aku mengabadikannya dalam rentetan huruf dari kesenduan yang tertangkap oleh indera penglihatanku, kesedusedanan hidup yang terekam oleh indera pendengaranku.

Di kereta yang biasanya penuh sesak ini, aku menyelonjorkan kakiku. Ini kesempatan langka, meregangkan badan saja biasanya aku tidak bisa. Di kereta rakyat seharga Rp 35.000,00 ini aku bisa berleha-leha tanpa diributkan oleh penumpang berwajah lelah yang biasanya kusaksikan.

Pandanganku tertuju ke arah barat. Barat? Aku tidak yakin sebenarnya apakah itu arah barat. Kereta yang aku tumpangi saja tidak pernah mengenal arah. Ia hanya tahu bentangan rel mengantarkannya ke tiap-tiap stasiun. Hemm, anggap saja itu barat kawan. Di sudut barat itu kulihat seorang nenek tertidur pulas. Dari air mukanya yang tenang itu aku tahu ia sangat berbahagia menikmati hidup. Tiada beban tersirat dari tidurnya yang pulas dan lepas.

Kereta berhenti menjemput penumpang. Aku tahu bahwa sebentar lagi ada kedamaian yang akan terenggut massal. Benar saja, penumpang benar-benar merebut kedamaian ini. Aku yang tadinya berselonjor sesuka hati kini tersisih oleh mereka yang sesungguhnya memang berhak atas kursi di kereta ini. Aku lihat di sudut tadi, nenek tua itu pun ternyata bernasib sama denganku. Ia terbangun dari tidur pulasnya. Ternyata kami sama-sama mencari kedamaian sejenak dengan meminjam hak kursi penumpang lain.

Belum lima menit berlalu, si roda besi kembali melanjutkan maratonnya. Bersama denting gesekan rel, aku mengenali nada indah sebuah lagu yang sering kali mengalun dari laptopku. Nada-nada yang selalu aku coba dendangkan dengan biola, namun tak pernah menciptakan nada yang sempurna. Ya, “Tikus Kantor” mengalun merdu dari sebuah biola dan gitar dua pemuda musisi jalanan, mungkin orang lebih sering menyebutnya “pengamen”. Sekilas ku meretas harapan bahwa lagu itu didendangkan langsung oleh penciptanya di hadapanku ini. Tapi sepenuhnya aku sadar, aku beretoris jika mengharap sang legendaris itu menyanyi di kereta butut ini. Iwan Fals, pencipta lagu manusia setengah dewa yang peduli dengan rakyat itu tiada mungkin berdesakan bersamaku sekarang ini.

Aku tertuju pada nenek tua itu lagi. Ia seorang ibu dengan dua orang anak yang telah memberinya dua cucu. Ia mencintai alam ini sebagaimana mencintai hidup. Sehari-hari ia berkebun. Setelah panen padi, ia menanami tanahnya dengan jagung, umbi-umbian dan sayuran. Aku memintanya bercerita tentang tempat tinggalnya di Jalan Parangtritis, sebuah Jalan ternama di Kota Istimewa, Yogyakarta. Ia begitu bersemangat menanggapi permintaanku. Ia pun memulai kisahnya:

"rumah ibu tuh mba, deket losmen-losmen yang ada di daerah parangtritisbanyak banget mba losmennya, tapi rumah ibu saja yang ndak"

sejenak nenek mengambil nafas, melanjutkan ceritanya.

"ibu dilarang sama anak ibu, untuk ngerubah rumah jadi losmen, ga usah ngejar kekayaan, hidup begini udah cukup, harta ga bakal dibawa ke akhirat"

"ibu tuh tau soalnya, itu tetangga ibu mbak. malah tetangga ibu yang punya losmen itu sering ke pasar bareng sama ibu terus cerita kalo ada orang yang dateng ke losmen dan bayarnya pake uang receh Rp 100,00 sama Rp 500,00 mba, hahahaha ada ada aja orang itu ya mbak, kayanya udah pengen banget, hahaha"

Puas sekali sang nenek tertawa.

"mbak ga usah nanya siapa yang negur atau ngelarang mbak, wong mereka itu bayar pajak ke kecamatan mbak, kalo ga bayar pajak, losmennya ya di tutup sama kecamatan*”

"mbak, banyak lho anak muda yang masuk malam-malam ke losmen itu, besok paginya pas keluar dari losmen anak itu udah rapi pake seragam sekolah mbak, ada yang SMP, SMA. macem-macem deh pokoknya, malah ada kakek-kakek juga mbak"

"kalo pagi-pagi saya kan ke sawah mbak, sawah saya itu di belakang rumah. nah losmennya itu kan disebelah rumah mbak, saya sering banget denger orang ngebohong mbak. waktu itu ada bapak-bapak keluar dari losmen, di depan losmen dia bilang ditelponnya kalo dia lagi 'meeting-meeting', rapat gitu, iih..padahal kan dia lagi sama cewe di losmen. udah kaya di sinetron-sinetron deh mbak. amit-amit saya
mbak"

saya sama keluarga saya mbak alhamdulillah diberi rasa cukup, hidup tenang pake uang halal, kalo makan bisa ambil di kebun, beras ada, sayur ada. sederhana sama bersyukur intinya mbak, Allah pasti ngecukupin kita."


Ya, ia mengajariku kesederhanaan. Sederhana bukan berarti tidak punya apa-apa, tetapi bersyukur atas apa yang ada. Di benakku terlintas kalimat ini “Bumi itu terhampar luas bagi beribu orang bersyukur, tapi terasa sempit bagi satu orang tamak”. Ada banyak kisah dari sebuah perjalanan, dan ada bahagia yang membuncah ketika menuai hikmah di setiap perjalanan tersebut. Seperti perjalananku di kereta tua ini, aku belajar untuk menjadi sederhana namun berguna untuk sesama.

*pemerintah lokal, anggap saja kecamatan
Sumber : Rabu, 29 Februari 2012. Perjalanan di sebuah kereta ekonomi, dari Yogyakarta menuju Bekasi. 
Editor : Rahma Abdullah