Minggu, 15 April 2012

AKU NRIMO ING PANDUM



Ia cacat,
Ia tidak bisa membaca,
Ia tidak bisa menulis,
Ia tidak pernah sekolah,
tapi Ia menjadi pemimpin

 Saryono, satu diantara penduduk asli Dusun Ngetehan, Sleman. Lelaki ini bisa dikenali dari jarak jauh. Ketika  Ia mengandarai se-peda motor. De-ngan kedua mata-nya yang tidak dapat melihat de-ngan sempurna, secara perlahan Ia berani serta hati-hati mengendarai sepeda motornya, dan itulah yang menjadi ciri khas-nya.

    Saryono seorang bapak dari dua orang anak. Di umurnya yang melampaui 40 tahun ini, Ia tidak pernah mengenal satu huruf sekalipun. Ia tidak buta, hanya cacat mata yang disebabkan sakit demam amat parah diumurnya yang begitu balita.
   
    Bertani dan mencari rumput untuk tiga ekor sapi adalah pekerjaannya sehari-hari. Dari sana lah Ia dapat menghidupi keluarga kecilnya.
   Saryono kecil sudah berbeda dengan anak seusianya. Berawal dari penyakit cacar dan campak saat Ia berumur 4 tahun. Ketika itu orang tuanya tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menurunkan demam yang begitu tinggi. Seorang mantri (dokter kala itu) mengatakan bahwa Ia sulit untuk disembuhkan, terlebih ketika cacar tersebut menyerang dan tumbuh di matanya yang hampir saja menyebabkan buta untuk selama-lamanya. “kita hanya bisa berdoa mba supaya adik saya itu bisa sembuh” tutur mbah Sarwo, kakak Saryono.

  Saat Saryono anak-anak, rasa penasarannya terhadap huruf dan angka Ia obati dengan belajar melalui media yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Dengan jemarinya yang Ia gunakan sebagai pena, Ia belajar menulis di atas tanah, dibantu kawannya merangkai beberapa huruf. “Saya belajar beberapa huruf dan angka dengan jari saya lewat tanah, teman-teman saya yang mengajarkan, kadang mereka juga bercerita pe-lajaran di sekolah” ungkap Saryono sambil meraba-raba meja, mencari rokok.
  Rasa minder tetap Ia rasakan, terutama saat Ia memasuki masa remaja. Cacat mata yang Ia derita sempat membuatnya menyerah men-jalani hidup. Tapi, di saat itu justru keluarga dan teman-temannya lah yang terus me-nyemangatinya. Saryono remaja semakin menyadari bah-wa kekurangan bukan menjadi penghambat ba-ginya untuk bel-ajar menjadi orang yang ber-guna dan ber-manfaat bagi orang lain. Baginya, cacat mata yang Ia alami bukan masalah besar. Ia terus belajar apapun yang bisa Ia pelajari. Jika Ia tidak bisa me-manfaatkan kedua matanya, maka Ia dapat memaksimalkan kedua telinganya dengan baik.

  Prinsip hidup yang Ia miliki adalah hidup sederhana, menikmati hidup dengan apa adanya dan tidak perlu menginginkan sesuatu yang memang tidak terlalu penting untuk dimiliki.  Kesederhanaan hidup serta kejujuran, itulah yang menjadikan Saryono menjadi sosok yang dipercaya oleh teman-teman dan orang sekitar. “iya mbak, nrimo ing pandum, dan saya bersyukur bisa dipercaya orang”

   Sudah 4 tahun ini Saryono menjabat sebagai ketua RT. Ia tidak pernah sedikit pun terbersit untuk mengemban amanah sebagai pemimpin masyarakat, apalagi mengaju-kan dirinya sendiri. Jiwanya- lah yang menghantarkannya menjadi seorang ketua bagi penduduk RT 04 yang berjumlah 45 kepala keluarga. “Terbebani?, yaa gimana ya, kalau membawa amanah itu memang berat, apalagi saya seperti ini, tapi saya ini banyak yang membantu” dengan tenang ia menjelaskan.

    Suka duka menjadi seorang pemimpin dari 45 keluarga dengan keterbatasan fisik menjadi suatu nikmat ter-sendiri bagi Saryono. Suka Ia rasakan ketika berbagai usulannya untuk kepentingan bersama diterima oleh warga. Duka pun Ia nikmati ketika Ia dicemooh oleh warganya sendiri.

  Saryono tidak hanya menjadi pemimpin bagi warga RT 04. Di mata istrinya, Juminah. Saryono adalah sosok Imam (pemimpin) yang baik dan bertanggung jawab. “biasanya kalau pagi kan istri itu udah di dapur mba, dan suami masih pulas tidur, tapi bapak ini ga, kalo saya udah di dapur, bapak juga ke dapur, bantuin masak air” ungkap Juminah.

      Meski Ia tidak mengenal huruf dan tidak dapat membaca, sampai detik ini Ia belum pernah tergantikan untuk menjadi pemimpin dalam acara pengajian, sebagai imam mushola maupun sebagai pemimpin rois (upacara kematian). Semua doa dan ayat-ayat yang Ia bacakan saat menjadi imam mushola maupun memimpin rois, tidak Ia dapatkan dengan cara membaca, tetapi hanya dengan mendengarkan. “Setiap orang itu punya kekurangan dan kelebihan dek, nah Pak RT itu walaupun susah melihat dan buta huruf tapi daya ingatnya kuat sekali, dia mimpin kenduren[1] sama yasiin-an[2]” jelas Irine, salah satu anggota karang taruna RT 04.

   Saryono memiliki gaya tersendiri dalam memimpin. Selama memimpin Ia tidak pernah memutuskan suatu perkara atau membuat ke-bijakan yang berkaitan dengan warganya atas  kehendak sendiri, segalanya Ia musya-warahkan dengan warganya. Sifat kekeluargaan yang tertanam pada warga, mem-bawa Saryono berkali-kali berhasil menjadikan RT 04 sebagai pemenang perlombaan antar RT dalam acara HUT RI atau biasa disebut acara 17 Agustusan.
   Jujur, rasa menerima dan terbuka serta hidup sederhana adalah kunci yang selalu Saryono genggam di tangannya,  hingga keempat hal tersebut menjadikannya sosok yang dipercaya oleh banyak orang, padahal Ia seorang yang cacat dan memiliki banyak ke-terbatasan.  “hidup dijalani dengan santai saja, semua cemoohan dan kritik dari orang lain kita terima dengan baik. Semuanya itu bisa menjadikan pendewasaan kualitas diri. kekurangan itu kalau tidak dari orang lain, tidak akan terlihat” tutur Saryono.
  



[1] Acara semacam syukuran dengan mengumpulkan masyarakat dan makan bersama.
[2] Membaca surat yasin (salah satu surat dalam Al-Quran).