Minggu, 04 Maret 2012

KA. Progo St. Lempuyangan - St. Bekasi : Nenek Sederhana

Aku mulai merajut jejak kisah dari si roda besi dengan menyebut nama-Nya. Dia yang Maha Kasih Tak Pilih Kasih. Aku mengabadikannya dalam rentetan huruf dari kesenduan yang tertangkap oleh indera penglihatanku, kesedusedanan hidup yang terekam oleh indera pendengaranku.

Di kereta yang biasanya penuh sesak ini, aku menyelonjorkan kakiku. Ini kesempatan langka, meregangkan badan saja biasanya aku tidak bisa. Di kereta rakyat seharga Rp 35.000,00 ini aku bisa berleha-leha tanpa diributkan oleh penumpang berwajah lelah yang biasanya kusaksikan.

Pandanganku tertuju ke arah barat. Barat? Aku tidak yakin sebenarnya apakah itu arah barat. Kereta yang aku tumpangi saja tidak pernah mengenal arah. Ia hanya tahu bentangan rel mengantarkannya ke tiap-tiap stasiun. Hemm, anggap saja itu barat kawan. Di sudut barat itu kulihat seorang nenek tertidur pulas. Dari air mukanya yang tenang itu aku tahu ia sangat berbahagia menikmati hidup. Tiada beban tersirat dari tidurnya yang pulas dan lepas.

Kereta berhenti menjemput penumpang. Aku tahu bahwa sebentar lagi ada kedamaian yang akan terenggut massal. Benar saja, penumpang benar-benar merebut kedamaian ini. Aku yang tadinya berselonjor sesuka hati kini tersisih oleh mereka yang sesungguhnya memang berhak atas kursi di kereta ini. Aku lihat di sudut tadi, nenek tua itu pun ternyata bernasib sama denganku. Ia terbangun dari tidur pulasnya. Ternyata kami sama-sama mencari kedamaian sejenak dengan meminjam hak kursi penumpang lain.

Belum lima menit berlalu, si roda besi kembali melanjutkan maratonnya. Bersama denting gesekan rel, aku mengenali nada indah sebuah lagu yang sering kali mengalun dari laptopku. Nada-nada yang selalu aku coba dendangkan dengan biola, namun tak pernah menciptakan nada yang sempurna. Ya, “Tikus Kantor” mengalun merdu dari sebuah biola dan gitar dua pemuda musisi jalanan, mungkin orang lebih sering menyebutnya “pengamen”. Sekilas ku meretas harapan bahwa lagu itu didendangkan langsung oleh penciptanya di hadapanku ini. Tapi sepenuhnya aku sadar, aku beretoris jika mengharap sang legendaris itu menyanyi di kereta butut ini. Iwan Fals, pencipta lagu manusia setengah dewa yang peduli dengan rakyat itu tiada mungkin berdesakan bersamaku sekarang ini.

Aku tertuju pada nenek tua itu lagi. Ia seorang ibu dengan dua orang anak yang telah memberinya dua cucu. Ia mencintai alam ini sebagaimana mencintai hidup. Sehari-hari ia berkebun. Setelah panen padi, ia menanami tanahnya dengan jagung, umbi-umbian dan sayuran. Aku memintanya bercerita tentang tempat tinggalnya di Jalan Parangtritis, sebuah Jalan ternama di Kota Istimewa, Yogyakarta. Ia begitu bersemangat menanggapi permintaanku. Ia pun memulai kisahnya:

"rumah ibu tuh mba, deket losmen-losmen yang ada di daerah parangtritisbanyak banget mba losmennya, tapi rumah ibu saja yang ndak"

sejenak nenek mengambil nafas, melanjutkan ceritanya.

"ibu dilarang sama anak ibu, untuk ngerubah rumah jadi losmen, ga usah ngejar kekayaan, hidup begini udah cukup, harta ga bakal dibawa ke akhirat"

"ibu tuh tau soalnya, itu tetangga ibu mbak. malah tetangga ibu yang punya losmen itu sering ke pasar bareng sama ibu terus cerita kalo ada orang yang dateng ke losmen dan bayarnya pake uang receh Rp 100,00 sama Rp 500,00 mba, hahahaha ada ada aja orang itu ya mbak, kayanya udah pengen banget, hahaha"

Puas sekali sang nenek tertawa.

"mbak ga usah nanya siapa yang negur atau ngelarang mbak, wong mereka itu bayar pajak ke kecamatan mbak, kalo ga bayar pajak, losmennya ya di tutup sama kecamatan*”

"mbak, banyak lho anak muda yang masuk malam-malam ke losmen itu, besok paginya pas keluar dari losmen anak itu udah rapi pake seragam sekolah mbak, ada yang SMP, SMA. macem-macem deh pokoknya, malah ada kakek-kakek juga mbak"

"kalo pagi-pagi saya kan ke sawah mbak, sawah saya itu di belakang rumah. nah losmennya itu kan disebelah rumah mbak, saya sering banget denger orang ngebohong mbak. waktu itu ada bapak-bapak keluar dari losmen, di depan losmen dia bilang ditelponnya kalo dia lagi 'meeting-meeting', rapat gitu, iih..padahal kan dia lagi sama cewe di losmen. udah kaya di sinetron-sinetron deh mbak. amit-amit saya
mbak"

saya sama keluarga saya mbak alhamdulillah diberi rasa cukup, hidup tenang pake uang halal, kalo makan bisa ambil di kebun, beras ada, sayur ada. sederhana sama bersyukur intinya mbak, Allah pasti ngecukupin kita."


Ya, ia mengajariku kesederhanaan. Sederhana bukan berarti tidak punya apa-apa, tetapi bersyukur atas apa yang ada. Di benakku terlintas kalimat ini “Bumi itu terhampar luas bagi beribu orang bersyukur, tapi terasa sempit bagi satu orang tamak”. Ada banyak kisah dari sebuah perjalanan, dan ada bahagia yang membuncah ketika menuai hikmah di setiap perjalanan tersebut. Seperti perjalananku di kereta tua ini, aku belajar untuk menjadi sederhana namun berguna untuk sesama.

*pemerintah lokal, anggap saja kecamatan
Sumber : Rabu, 29 Februari 2012. Perjalanan di sebuah kereta ekonomi, dari Yogyakarta menuju Bekasi. 
Editor : Rahma Abdullah